15 Agustus 2008

Foto, Diktator, dan Sepakbola


APA hubungan politik dan sepak bola? Puluhan foto yang dipamerkan di Museum Sejarah Jerman di Berlin mulai kemarin hingga akhir Juli nanti mencoba menjelaskan hubungan yang tak lazim itu.

Sore itu, akhir Juli 1982, di sebuah stadion di Warsawa, Polandia, tim tuan rumah tengah bersiap menghadapi uji coba melawan "saudara tua" mereka, Uni Soviet. Menjelang kick off, kedua tim berkumpul di tengah lapangan guna memberikan penghormatan kepada penonton.

1982 adalah tahun di mana komunisme masih memegang tampuk kekuasaan di pelosok Eropa Timur dengan Uni Soviet sebagai raja. Tapi, di sana-sini, kekuasaan komunisme yang sudah tampak lapuk dan letih dilawan, tak terkecuali di Polandia.

Maka, begitu para pemain kedua tim selesai memberikan salut, sebuah spanduk langsung berkibar di salah satu tribun yang berisi dua ribu penonton. Satu kata saja yang terpampang di spanduk itu: Solidarnosc.

Dalam bahasa Polandia, kata itu berarti solidaritas. Di belahan bumi lain, kata itu mungkin hanya merujuk kepada kesetiakawanan atau toleransi. Tapi, di Polandia pada 1982, Solidarnosc hanya berarti satu hal: serikat buruh yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan komunis yang sangat represif di negeri itu.

Seperti ditulis Reuters kemarin, secuil keberanian di Polandia itu seperti tersaji kembali di depan mata melalui beberapa foto yang dipamerkan di Museum Sejarah Jerman di Berlin kemarin. Puluhan foto di pameran ini bercerita tentang beragam peristiwa politik yang mengiringi perjalanan sepak bola dari masa-masa.

Sebuah foto Piala Dunia 1938 di Prancis, misalnya, memperlihatkan para pemain Jerman yang memberikan hormat ala prajurit Nazi. Bukan tepuk tangan yang mereka dapat, tapi teriakan ejekan bak suara kucing…..

Di masa itu, Nazi di bawah pimpinan Adolf Hilter memang tengah mempropagandakan diri melalui berbagai cara untuk mewujudkan ambisi mereka membentuk sebuah negara Jerman Raya. Austria baru saja dianeksasi sebelum Piala Dunia 1938 digelar.

Pelatih Jerman Sepp Herberger pun diperintahkan menurunkan line up yang separo berisi pemain Jerman, separonya lagi pemain Austria. Herberger berang atas intervensi ini. "Saya tak ubahnya mengarsiteki sebuah tim boneka," kata Herberger seperti dikutip situs resmi FIFA.

Intervensi Hitler tak berbuah manis. Jerman gagal menjadi juara. Tapi, infiltrasi politik ke lapangan hijau tak lantas berhenti. Sebuah foto perayaan Argentina menjadi juara Piala Dunia 1978 memperlihatkan bagaimana pelatih Cesar Luis Menotti menolak berjabat tangan dengan Jorge Rafael Vileda, diktator Argentina kala itu.

"Saya menganggap kemenangan Argentina saat itu sebagai langkah awal pendongkelan Valeda," ujar Menotti dalam salah satu wawancara.

Valeda berkuasa setelah melakukan kudeta militer dua tahun sebelum Piala Dunia 1978 digelar. Kekuasaannya mendapat resistensi keras. Bahkan, konon, pas partai final digelar pada 25 Juni 1978 di Stadion Monumental, Buenos Aires, sekelompok wanita menggelar protes menentang Valeda di luar stadion.

Begitulah, puluhan foto di pameran yang akan berlangsung hingga akhir Juli ini seperti membenarkan diktum selama ini: foto berbicara lebih banyak dibandingkan kata-kata. Baik yang berwarna maupun hitam putih, foto-foto itu merekam dengan baik emosi, suasana, dan pesan tersirat.

Seperti ketika kapten Timnas Jerman Franz Beckenbauer berjabat tangan dengan kapten Timnas Jerman Timur Bernd Bransch. Pesan yang mengapung lewat foto itu jelas: terpecahnya Jerman pasca Perang Dunia II.

Tapi, pameran ini tak hanya bicara tentang politik. Sebagian foto murni menggambarkan momen bersejarah sepak bola. Seperti ketika bintang Brazil Pele bertukar kostum dengan dengan kapten Inggris Bobby Moore di Piala Dunia 1970. Foto ini menyentuh karena seolah-olah melambangkan perpisahan Pele dengan ajang antarbangsa. Dan memang setelah Piala Dunia 1970 itu, Pele mundur dari Timnas Brazil.

Pedihnya kekalahan juga tergambar dengan baik lewat foto yang memperlihatkan reaksi wajah kiper Jerman Uwe Seeler usai ditundukkan Inggris di final Piala Dunia 1966. "Tanpa perlu berkata-kata, wajah dan bahasa tubuh Uwe Seeler sudah melambangkan betapa pahitnya sebuah kekalahan," ujar seorang komentator radio Jerman seperti dikutip Reuters. (zbc-Kamis, 18 Mei 2006)

Tidak ada komentar: