15 Agustus 2008

Not-So-Beautiful Game


KALAU saja sepak bola hanya melibatkan Pele, maka barangkali benar apa yang dikatakan legenda asal Brazil itu, "It’s a beautiful game." Sebab, Pele adalah representasi apa yang ingin ditonton orang di lapangan hijau: skill aduhai, gol-gol spektakuler, sportivitas, dan gelimangan prestasi.

Tapi sayang, sepak bola tak hanya tentang Pele. Sepak bola juga tentang suporter yang mengamuk, pemain yang baku pukul, wasit yang disuap, serta pelecehan warna kulit. Dan semua itu bukanlah virus yang baru muncul.

Pada 1314, Raja Inggris Edward II pernah melarang digelarnya pertandingan sepak bola di segenap penjuru Britania Raya. Alasannya, olahraga ini hampir selalu memicu kerusuhan penonton.

Kata dibarengi barangkali bisa menjadi kunci disini. Sebab, selama berabad-abad sepak bola tumbuh dan berkembang, luapan kegembiraan karena meraih prestasi senantiasa bertumbukan dengan teriakan kebrutalan. Dan, seringkali dua hal kontras yang bertumbukan itu berasal dari satu sumber.

Preston North End adalah contohnya. Pada awal abad ini, Preston North End adalah salah satu klub besar di Inggris. Preston bahkan tercatat sukses menjuarai edisi perdana Liga Inggris dengan status tak terkalahkan selama satu musim.

Tapi, coba tengok apa yang diperbuat beberapa suporter klub ini saat mendukung tim kesayangan mereka di sebuah laga melawan Blackburn Rovers pada 1905. Di dalam stadion, mereka sempat melakukan pelecehan seksual kepada seorang wanita berusia 70 tahun!

Sekarang mari beralih ke Argentina. Negeri ini pernah dua kali menjadi juara dunia. Negeri di ujung Amerika Latin itu juga pernah melahirkan sosok Diego Armando Maradona. Namun, pada Piala Dunia 1966, pers Inggris menjuluki para pemain Argentina sebagai "binatang" karena gaya permainan mereka yang sangat kasar.

Maradona sendiri juga bisa menjadi contoh. Dia didewakan di Napoli. Di Buenos Aires, ada gereja yang khusus dibangun sebagai tempat pemujaan kepadanya. Padahal, si "Tangan Tuhan" ini pernah begitu akrab dengan berbagai macam narkotika hingga hampir kehilangan nyawa.

Begitu banyak contoh lain bisa disebut, dari berbagai jaman, dari berbagai penjuru. Mulai intervensi diktator Benito Mussolini kepada Timnas Italia yang menjuarai Piala Dunia 1934 dan 1938, sampai kebrutalan Bonek yang baru terjadi di Surabaya. Apa boleh buat, dunia memang tak sempurna. Di dalam yang indah dan elegan, selalu ada yang apek, yang pesing, dan tak rapi. (zbc-Jumat, 15 September 2006)

Tidak ada komentar: