15 Agustus 2008

Mengapa Klub Inggris Menarik Investor?


SATU lagi klub Inggris jatuh ke tangan pemodal asing. Kini giliran West Ham United. Berubahnya kepemilikan saham mayoritas klub yang berdomisili di London itu akhirnya kian menegaskan bahwa klub-klub Inggris telah menjadi buruan oleh investor besar untuk dimiliki.

Sejak era tahun 2000-an, klub Liga Utama Inggris memang seperti lahan bidikan yang menarik hati bagi para konglomerat papan atas. Pada tahun 2003, saham mayoritas Ken Bates atas Chelsea berpindah ke taipan asal Rusia, Roman Abramovich, setelah terjadi transaksi senilai Rp 2,4 triliun.

Pada tahun 2005, kota Manchester digemparkan dengan kabar telah terbelinya Manchester United oleh konglomerat asal Amerika Serikat, Malcolm Glazer, seharga 13,7 triliun.

Setahun kemudian, serbuan investor asing malah tambah meruyak. Klub Portsmouth yang sejak tahun 1999 dimiliki taipan berdarah Serbia, Milan Mandaric, diakuisisi oleh miliuner Rusia kelahiran Perancis, Alexandre Gaydamak, dengan nilai kompensasi sebesar Rp 278 miliar.

Tahun yang sama, pemodal asal AS kembali masuk dan mencatatkan nama di lantai bursa sebagai pemilik baru klub Inggris, Aston Villa. Dengan menggelontor Rp 1,08 triliun, Randy Lerner resmi melakukan take over atas pemilik lama, Doug Ellis.

West Ham yang kini dimiliki pengusaha asal Eslandia, Eggert Magnusson, menjadi catatan terakhir pada tahun 2006 ini sebagai klub Inggris yang terbeli oleh investor asing. Pasalnya, hampir berbarengan dengan pergantian pemilik di klub lain, setidaknya dua klub elite, yaitu Liverpool dan Newcastle United, juga ikut dikejar.

Mantan PM Thailand yang kekuasaannya telah tumbang lewat kudeta oleh militer, Thaksin Sinawatra, pernah muncul sebagai agresor di Liverpool. Sementara itu, Presiden Newcastle Freddie Sheppard hingga sekarang masih berusaha bertahan dari iming-iming yang ditawarkan grup sindikasi Bavaria.

Sepanjang tahun 2006 pula klub Inggris tenar lainnya, Arsenal, terus berusaha membantah tentang rencana pemindahan kekuasaan dari Danny Fizman, David Dein, dan lembaga keuangan Diamond kepada pemilik baru. Investor yang memburu saham mayoritas Arsenal datang dari sindikasi Rusia.

Stadion baru
West Ham yang terbelit utang senilai 22,5 juta pound agaknya memang harus memilih sikap realistis. Dengan tawaran sebesar 85 juta pound atau senilai Rp 1,86 triliun ditambah opsi investor baru bersedia menanggung beban utang, klub ini akhirnya rela menyerahkan saham mayoritasnya kepada Magnusson.

Apalagi, Magnusson membawa pula isu tentang kemungkinan West Ham pindah ke Stadion Olimpik di London pada 2012.

Magnusson adalah seorang pengusaha ekspor-impor dan panganan serta menjabat sebagai Ketua Federasi Sepak Bola Eslandia sejak tahun 1989. Sejak tahun 2002, Magnusson yang pernah menjabat sebagai presiden klub Valur Reykjavik duduk di komite eksekutif UEFA. 
Keperkasaan Magnusson (59 tahun) ditunjang oleh konsorsium Bank Eslandia, Landsbanki, yang dikepalai miliuner finansial Bjorgolfur Gudmondsson. Dengan nilai yang digelontor itu, Magnusson berhak atas 83 persen saham, yang tadinya dimiliki Terry Brown dan keluarga Cearn serta Warner.

Untuk makin memantapkan kinerja di West Ham, Magnusson juga berjanji untuk segera lengser dari posisinya sebagai Ketua Federasi Sepak Bola Eslandia.

Kedatangan pemilik baru ini sekaligus melenyapkan spekulasi West Ham akan dimiliki pengusaha kelahiran Iran, Kia Joorabchian.

Lantas, mengapa klub-klub Inggris menarik untuk dibeli?

Bisnis dan Politis
Fenomena serbuan investor asing di Inggris telah diprediksikan oleh Keith Harris, ketua dari City Bank Seymour Pierce. Menurut dia, ketertarikan itu terfokus pada dua faktor.

Pertama adalah kontrak televisi, yang bakal berkaitan dengan pendapatan pada sisi bisnis serta politis. Faktor kedua adalah adanya kecenderungan bahwa bangsa Inggris sendiri mudah dalam menerima investor asing.

Dalam hitungan Harris, kontrak atau pembelian hak siar dari televisi pada edisi tahun 2007 hingga 2010 akan mencapai angka 700 juta pound. "Ada pula realisasi keuntungan oleh pemilik baru dengan mengendalikan rekening atau gaji sembari mendorong pendapatan lewat investasi stadion dan cendera mata, seperti yang telah dilakukan Arsenal atau Manchester United," kata Harris.

Pada kenyataannya, membeli klub Liga Inggris seakan juga membeli globalisasi. Pasalnya, popularitas klub Inggris diakui telah menembus batas benua. Eropa, Amerika, Australia, serta yang paling diincar adalah pasar Asia.

Faktor kedua adalah sikap easygoing attitude dari kebanyakan klub di Britania Raya pada investor asing. Bahkan, bagi para pencinta sepak bola, pembelian klub kerap dipandang sebagai cara yang bagus untuk segera menjadi besar atau kaya, sekaligus menghindarkan kegagalan serta kehilangan yang lebih besar lagi.

Sebuah kenyataan yang bakal sulit diperoleh di tempat lain, seperti di Italia, misalnya. Terlalu sulit untuk membayangkan Juventus tanpa keluarga Gianni Agnelli atau Silvio Berlusconi berkeinginan menjual habis seluruh saham miliknya di AC Milan.

Di Inggris, hak siar televisi dijual secara kolektif, yang secara langsung ikut menguntungkan klub-klub medioker dan kecil. Di Italia, hak siar dijual secara eceran alias individual, yang kemudian menciptakan perbedaan pendapatan yang besar pada klub medioker atau kecil, dan pasti tidak kondusif bagi investor.

Dengan kondisi di Inggris, yaitu populer dan kemudahan, akhirnya dipandang pula oleh para pemodal sebagai jalan untuk meraih legitimasi politis.

Abramovich, misalnya. Di balik sejumlah alasan bisnis ketika membeli Chelsea yang berdomisili di "barat", ambisi pribadinya untuk lebih diterima Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi kesampaian.

Adapun bagi duo taipan AS, Glazer dan Lerner, investasi yang ditanamkan di Liga Inggris merupakan bentuk penyampaian pesan kepada dunia tentang apa yang bisa mereka capai setelah bergulat di American Football.

Glazer yang berdarah Yahudi sebelumnya telah memiliki klub sepak bola ala Amerika, Tampa Bay Buccaners. Sedangkan sejak tahun 2002, Lerner menjadi pemilik klub Cleveland Browns. (zbc-Jumat, 1 Desember 2006)

Tidak ada komentar: